2 Okt 2007

Aidit dan G30S

Aidit dan G30S
Oleh Iwan Gardono Sujatmiko

Peristiwa G30S yang telah terjadi lebih dari 40 tahun lalu masih
menarik dianalisis. Peristiwa tersebut dapat dilihat dari perspektif
makro sebagai pembunuhan anggota PKI, penghancuran organisasi PKI,
kudeta dan perebutan kekuasaan, revolusi sosial yang gagal, atau
ideologi yang gagal.

Sementara itu, secara mikro atau peran aktor, dikelompokkan menjadi
enam pola: PKI dan Biro Khususnya, Klik AD, CIA/AS, Inggris-CIA,
Presiden Sukarno, dan tak ada pelaku tunggal (Bayang-Bayang PKI ;
ISAI, 1995). Terdapat pula analisis yang menyatakan keterlibatan
Soeharto (Wertheim; Latief, Hanafi). Pembahasan berikut akan
mengaitkan faktor mikro, khususnya Aidit, dengan strategi PKI dan
partai-partai komunis.

Strategi Komunis dan PKI
Mayoritas upaya perebutan kekuasaan oleh partai komunis dilakukan
dengan kekerasan dan dikategorikan menjadi empat pola (Cyril Black,
1964): "revolusi domestik" (Albania, RRT, Vietnam Utara, Yugoslavia,
Rusia; namun gagal antara lain di Jerman dan Hongaria 1919); "revolusi
dari luar (negeri)" (Bulgaria, Cekoslowakia, Jerman Timur, Hongaria,
Mongolia, Korea Utara, Polandia, Rumania; namun gagal di Polandia/
1920, Gilan/Iran, Finlandia/1939, Korea Selatan/1950); "revolusi dari
atas" (Kuba); dan "revolusi melalui pemilu" (Kerala/India, San
Marino/Italia, bukan tingkat nasional).

Selain itu partai komunis juga ikut dalam koalisi di Spanyol, Prancis,
Italia, Islandia, Cile, dan Guatemala. Setelah tahun 1964 terdapat
beberapa negara yang (sempat) menjadi komunis seperti Afghanistan,
Vietnam Selatan, dan Laos (dari luar dan dalam), dan Kamboja
(kombinasi atas/Sihanouk dan dari luar/RRT).

Saat itu PKI menerapkan strategi radikal dari dalam, yang mencakup
buruh, tani dan infiltasi tentara (Metode Kombinasi Tiga Bentuk
Perjuangan/MKTBP) dan mendapat tantangan dari pihak non-PKI. Upaya
melalui pemilu juga terhambat karena ditundanya pemilu. Sementara itu
revolusi dari luar agak sulit karena adanya "perang dingin" dan
Indonesia terpisah dari negara komunis walaupun ada tawaran bantuan
(senjata) dari RRT. Akhirnya, Aidit memilih "konflik elite" atau
revolusi dari atas, dengan membonceng Sukarno (Nasakom) setelah
mempelajari kasus Kuba dan Aljazair (Olle Tornquist, Dilemmas of Third
World Communism: The Destruction of the PKI in Indonesia, 1984).

Kasus Kuba menunjukkan bagaimana Castro yang awalnya bukan komunis
menggunakan partai komunis. Dalam kasus Aljazair, partai komunisnya
sebenarnya berkesempatan mengubah kudeta yang progresif (dari atas)
menjadi revolusi (dari bawah).

Peran Aidit
John Roosa dalam bukunya, Pretext for Mass Murder: The September 30th
Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia, 2006, menunjukkan
bahwa peran Aidit bukan hanya pasif namun sangat dominan. Tesis ini
sebenarnya telah dikemukakan dalam Nugroho Notosusanto dan Ismail
Saleh; "Buku Putih Orde baru", Tornquist; Brackman; dan pernyataan
Sudisman, Subekti, dan Munir di Mahmilub.

Demikian pula Sukarno dalam pidato "Pelengkap Nawaksara" menyatakan
Peristiwa G30S ditimbulkan oleh "keblingeran pimpinan PKI", selain
subversi "nekolim" dan "oknum-oknum yang tidak benar". Namun Roosa
mendukung tesisnya dengan berbagai sumber yang baru, yakni wawancara
dengan "Hasan" (nama samaran pimpinan PKI yang mengetahui Biro
Khusus), Iskandar Subekti (sekretaris pribadi Aidit), serta 30
informan termasuk beberapa rekan Aidit serta Syam. Selain itu Roosa
menggunakan sumber tertulis yakni "Tiga Faktor Penyebab G30S" oleh A
Karim DP (1999); Otobiografi "Hasan" (1998), dan "Dokumen Suparjo"
yang menurutnya dapat dipercaya karena telah dicek silang dengan
beberapa sumber.

Dalam buku tersebut Aidit dikatakan pernah membahas kudeta di Aljazair
di mana Kolonel Harri Boumediene menggulingkan Presiden Ben Bella pada
19 Juni 1965. Saat itu Aidit menyarankan agar partai komunis Aljazair
mendukung kudeta progresif tersebut menjadi revolusi.

Adanya "Dewan Revolusi" di Aljazair itu bahkan menjadi inspirasi Aidit
untuk diterapkan dalam kasus Indonesia. Sebenarnya inspirasi Kuba dan
Aljazair itu pernah dibahas secara singkat oleh buku Tornquist (1984)
namun tidak menjadi rujukan buku Roosa.

Dalam buku Roosa, Aidit dan kelompok kecilnya (Sudisman, Oloan
Hutapea, Lukman dan Rewang) sangat terlibat dalam rencana gerakan.
Dalam pertemuan mereka Aidit menyarankan pembentukan "Dewan Revolusi"
sebagai upaya Nasakomisasi yang terdiri dari militer dan tidak
mencerminkan PKI. Aidit menyatakan kudeta seperti di Aljazair tidak
akan mengubah perimbangan kekuasaan, namun hal itu akan dapat
meradikalisasi massa serta meningkatkan tuntutan (buku Tornquist).
Dalam rencananya, strategi Aidit tersebut membonceng Sukarno dan
akhirnya PKI diharapkan dapat berkuasa.

Peristiwa G30S
Berdasarkan berbagai data baru (Roosa) dan sumber lainnya dapat
direkronstruksi peran Aidit, strategi PKI, dan partai komunis. Pada
awalnya Aidit dan kelompok kecilnya membuat gerakan dari atas untuk
melumpuhkan pimpinan AD yang akan diikuti Dewan Revolusi guna
Nasakomisasi. Gerakan tersebut bersifat terbatas dan diharapkan
seperti "penyulut sumbu" (istilah Suparjo) yang akan menghasilkan
"bola salju" berupa Dewan Revolusi.

Lalu Syam melakukan kontak dengan kelompok militer di Jakarta dan juga
mengirim kurir ke daerah. Menjelang G30S, Latief mengontak Soeharto
dan menyatakan akan melakukan gerakan sehingga Soeharto dianggap
terlibat (Wertheim; Latief, Hanafi). Demikian pula Heru Atmojo mencari
informasi mengenai keadaan itu dan bertemu dengan Mayor Sujono dan
melaporkan pada pimpinan AURI sehingga mereka juga dianggap terlibat
(Atmojo). Selanjutnya terdapat upaya yang mencoba menyatakan Sukarno
juga sebenarnya mengetahui gerakan itu (Dake) pada 30 September malam,
karena mendapat surat dari Untung melalui Sersan Sogol (Cakrabirawa).
Namun Sogol dan Wakil Komandan Cakrabirawa Saelan membantahnya
(Saelan, 2001). Kehadiran Sukarno di Halim memang kebetulan karena
Suparjo dan kedua komandan batalyon justru mencarinya di Istana untuk
meminta dukungan.

Setelah gerakan penculikan dan pengumuman di RRI, Suparjo mengadakan
kontak dengan Sukarno dan pimpinan AURI untuk memperoleh surat
dukungan. Sukarno tidak mendukung gerakan bahkan memintanya
menghentikan konflik dan Suparjo diminta pendapat mengenai calon
pengganti Achmad Yani.

Namun, dalam pengumuman berikutnya Dekrit 1 (diketik Iskandar Subekti,
buku Roosa dan Atmojo) Aidit dan Syam yang berada di Halim
mendemisionerkan kabinet dan Dewan Revolusi menjadi pemegang
kekuasaan. Hal itu membuat Sukarno marah ketika di Halim dan pada
sidang Kabinet 6 Oktober di Bogor Sukarno membubarkan Dewan Revolusi
di daerah-daerah dan perintah itu disiarkan media tanggal 7 Oktober.

Aidit telah berupaya melakukan terobosan dan "berjudi" untuk merebut
kekuasaan ("revolusi dari atas") namun gagal. Kudeta dari atas yang
diharapkan akan diikuti revolusi dari bawah justru gagal dan hal itu
akhirnya menggagalkan juga upaya revolusi dari bawah.

Keadaan itu menjadi peluang emas bagi non-PKI yang bereaksi untuk
menghancurkan PKI yang telah memulai aksi "senam revolusi". Strategi
revolusi PKI yakni "polarisasi-kontradiksi-negasi" untuk menang total
akhirnya berubah menjadi kalah total.

Penulis adalah sosiolog FISIP-UI, Depok

Lemahnya Pengelolaan SDA

  • Pada prinsipnya kita memiliki keinginan yang sama agar rakyat menerima manfaat yg lebih besar dari Eksploitasi Sumberdaya alamnya, sebab yang dirasakan rakyat adalah ketidakadilan dalam pengelolaan SDA Yang katanya "sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat" tapi pada kenyataan nya tidak demikian.
  • Menurut penelitian sebuah jaringan kerja NGO international, Publish what you pay dan Ekstractif Industri Transparancy Iniative (EITI) Ada banyak negara dunia ketiga (miskin) termasuk Indonesia yang tidak mampu memanajemen sumber daya nya sehingga kondisi Rakyat dan negara nya tetap dalam kemiskinan. Mungkin satu contoh yang di angkat dalam film "Blood Diamond" situasi nyata yang di angkat dalam sebuah cerita fiksi tentang negara penghasil permata yang tidak pernah sepi dari peperangan saudara.
  • Tapi saya juga masih menangkap anggapan-anggapan yg miring menurut saya tentang "Kemakmuran" Ada yg menganalogikan kemakmuran dengan berdirinya "Sedikit" rumah-rumah mewah pengusaha pertambangan/perkebunan serta bersileweran mobil-mobil berkelas, tapi ada pula(termasuk saya) yang menterjemahkan kemakmuran dengan kemudahan publik mengakses sumber-sumber ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kepemerintahan yang baik dimana pelayanan yang dinikmati publik murah.
  • Apa hal yang saya ungkapkan bukan hal yang terlalu jauh ke depan, saya yakin apabila ada komitmen dari pemerintah, maka situasi ideal dimana pelayanan publik menjadi lebih baik akan dapat kita capai dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Dan masyarakat akan merasakan manfaat Eksploitasi SDA-nya. Tapi sudah barang tentu pejabat-pejabat daerah semestinya melepaskan "kepentingan-kepentingan" pribadinya atas Eksploitasi SDA.

Menurut saya problem yang dihadapi daerah:
  1. Tidak Transparannya pemerintah dalam memanajemen pemerintahannya. Publik tak pernah dapat mengakses secara terbuka berapa besar Income yang didapat APBD dari sektor Tambang dan digunakan untuk apa saja dana yg didapat tersebut, sehingga publik tidak dapat merasakan secara langsung manfaat dari Eksploitasi SDA didaerahnya.
  2. Lemahnya pengawasan pemerintah (atau dengan sengaja melemahkan diri ) terhadap Eksploitasi sumber daya alam. Inisiatif pemerintah daerah untuk memantau jumlah produksi perusahaan tambang pun tak pernah terungkap, seolah percaya begitu saja laporan perusahaan dan pemerintah pusat. Padahal untuk mengambil Inisiatif pengawasan adalah pemerintah.
  3. Tidak kuatnya komitmen masyarakat sipil (LSM,Ormas,tokoh masyarakat) sebagai energi pendorong. Kebanyakan kelompok masyarakat sipilnya berfikir untuk kepentingan pribadi dan kelompok,tidak berfikir untuk kepentingan yang jauh lebih besar. Pejabat birokrasi terkait pun punya kecenderungan memanfaatkan situasi kecenderungan pribadinya.
  4. Lemahnya posisi pemerintah (akibat melindungi bisnis para birokratnya) untuk menekan perusahaan agar memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah melalui kepemilikan saham di perusahaan Tambang.
  5. Lemahnya posisi pemerintah (dengan sebab yang sama) untuk menekan pemerintah pusat agar memberikan porsi bagi hasil yg lebih besar kepada daerah penghasil. Moratorium (Penghentian sementara) tambang merupakan bentuk tekanan kepada perusahaan tambang dan pemerintah pusat untuk memperbesar porsi bagi hasil ( sekarang daerah penghasil menerima manfaat tidak lebih dari 0,8 % dari dana royalti yg disetorkan pengusaha tambang.

Dari
denipositif(aktivis positif.Kalimantan)
--
admin
Gerakan Tilka Asyarotun Kaamillah
http://gerTAK.or.id | http://gerTAK.co.nr


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Insurance News. Powered by Blogger